Minggu, 28 Desember 2014

Jurnal Etika Bisnis = Tugas 3



 IKLAN ANAK PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DI TELEVISI
DAN ETIKA MEDIA DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL

Siti Nurhasanah
16211822
4ea17

Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma


ABSTRAK

Siti Nurhasanah. Iklan dalam etika dan estetika. Fakultas Manajemen. Jurusan Ekonomi. Universitas Gunadarma. 2014. Penulisan yang berjudul “Iklan dalam etika dan estetika “ ini membahas tentang Iklan Anak Produk Makanan dan Minuman di Televisi dan Etika Media dalam Perspektif Kearifan Lokal. Penelitian ini mencoba menggali iklan produk makanan dan minuman bagi anak yang ditayangkan di televisi dilihat dari perspektif etika media. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali substansi  dari  iklan  anak  dari  sudut  pandang  etika  media.  Dengan  menggunakan  teori  dari  Jaksa  dan Pritchard,  1993,  etika  yang  baik  dibangun  dalam  komunikasi  media  dengan  mengembangkan keadilan,  akurasi  dan  objektivitas.  Simpulan  penelitian  ini  adalah  iklan  di  media  televisi  masih  mengabaikan etika karena tidak adil, tidak akurat dan tidak objektif. 

Kata kunci : anak, iklan, etika media, kearifan lokal


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
            Wacana Iklan anak-anak di televisi terus mengalami perkembangan dalam kajiannya. Iklan anak-anak selalu menarik. Dengan kemajuan teknologi yang semakin  sempurna iklan anak-anak di televisi semakin atraktif, kreatif dan menghibur. Atraktif karena iklan anak-anak selalu tampil dengan hal yang baru dan unik. Iklan anak-anak juga semakin kreatif. Kreatif karena selalu tampil dengan iklan yang berbeda, dinamis dan menampilkan ide-ide baru. Selain itu iklan anak-anak juga memiliki fungsi sebagai subtansi media massa.
Sebagai bagian dari bauran promosi, iklan atau dalam pemahaman yang lebih luas periklanan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan bauran pemasaran atau marketing mix (Philip Kotler, Marketing Communication). Bauran pemasaran yang dimaksud adalah Place, product, Price dan Promotion. Melihat posisinya demikian iklan mau tidak mau memiliki tujuan untuk membujuk kepada goalnya yaitu terjadi transaksi pembelian. Demikian juga proses kreatif iklan anak-anak. Beberapa kalangan terutama orang tua dan guru serta aktivis perlindungan anak prihatin melihat kenyataan bahwa dunia anak-anak sudah dirampas oleh pemilik modal, pasar, melalui media dan iklan untuk kepentingan komoditi (Dian Marhaeni, 2006). Mereka mungkin tidak sadar bahwa keluguan dan kelucuan anak-anak sudah dimanfaatkan oleh iklan dalam hal ini industri dan media untuk kepentingan penumpukan modal (Dian Marhaeni, 2006). Tentu saja fenomena ini cukup ironis.
Fenomena lainnya adalah makin semaraknya tayangan iklan makanan dan minuman. Iklan makanan dan minuman dirancang secara kreatif sehingga mampu menarik pasar anak-anak. Riset pendahulu tentang iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman yang dikritisi dengan etika media oleh Dian Marhaeni K Dan Kawan kawan, menemukan simpulan bahwa iklan anak-anak pada produk tersebut secara signifikan belum menunjukkan adanya keadilan, keakuratan dan keberpihakan kepada publik.
Sebanyak 27,7% dari sample yang diambil secara kuota terbukti iklan makanan dan minuman sudah memberikan informasi yang tidak sehat bagi anak-anak. Karena iklan menginformasikan nilai-nilai baru yang itu kurang berbasis pada kearifan local budaya pangan di Indonesia.

1.2              Rumusan Masalah
Dengan pertimbangan latar belakang diatas maka permasalahan penelitian ini adalah “Bagaimana tayangan iklan anak-anak pada iklan makanan dan minuman di televisi dan etika media dalam perspektif kearifan lokal ? “.

1.3              Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mengetahui tayangan iklan anak-anak pada iklan makanan dan minuman di televisi dan etika media dalam perspektif kearifan lokal.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Pengertian Periklanan
Pengertian periklanan menurut Philip Kotler (2007) adalah sebagai berikut :
“Segala bentuk penyajian dan promosi ide, barang atau jasa secara nonpersonal oleh suatu sponsor tertentu yang melakukan pembayaran”. Dengan demikian menurut Djaslim Saladin (2007 : 172) yang mengartikan periklanan sebagai berikut : “Periklanan adalah semua bentuk penyajian nonpersonal, promosi ide-ide, promosi barang atau jasa yang dilakukan oleh sponsor yang dibayar”. Menurut Burke yang diterjemahkan oleh Buchari Alma (2006 : 182) mendefinisikan iklan sebagai berikut : “Periklanan menyampaikan pesan-pesan penjualan yang diarahkan kepada masyarakat melalui cara-cara yang persuasive yang bertujuan menjual barang, jasa atau ide”.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang definisi iklan diatas maka dapat disimpulkan bahwa periklanan merupakan suatu bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu barang atau jasa maupun ide sponsor tertentu yang dikeluarkan hanya untuk kegiatan tersebut.

2.2       Fungsi & Tujuan Periklanan
Menurut Basu Swastha (2000 : 246) fungsi periklanan sebagai berikut :
1.      Memberikan Informasi
Periklanan dapat menambah nilai pada suatu barang dengan memberikan informasi kepada konsumen.
2.      Membujuk atau mempengaruhi
Periklanan bersifat membujuk terutama kepada pembeli potensial dengan menyatakan bahwa produk yang diproduksinya lebih baik dari produk lain.
3.      Menciptakan pesan (image)
Dengan iklan orang akan mempunyai suatu kesan tertentu mengenai apa yang diiklankan dan dengan iklan juga dapat menciptakan kesan kepada masyarakat untuk melaksanakan pembicaraan secara rasional dan ekonomis.
4.      Memuaskan keinginan
Periklanan merupakan suatu alat yang dapat dipakai untuk mencari tujuan dan dengan tujuan itu sendiri berupa pertukaran yang saling memuaskan.
5.      Merupakan alat komunikasi
Periklanan adalah suatu alat untuk membuka komunikasi dua arah antar penjual dan pembeli, sehingga dapat bertemu dengan cara yang efektif dan efisien.
Tujuan utama periklanan adalah meningkatkan penjualan barang dan jasa atau ide sasaran riil dilakukan dengan mengkomunikasikan secara efektif pada sasaran-sasaran dalam periklanan yaitu masyarakat atau pasar

2.3       Etika Periklanan
            Menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI), etika adalah sekumpulan norma atau azas atau sistem perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus ditaati oleh individu atau kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk atau benar-salah untuk hal atau aktivitas atau budaya tertentu. Menurut EPI (Etika Pariwara Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dohormati, ditaati, dan ditegakan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangnya

2.4       Bentuk-bentuk Iklan Televisi
Bentuk- bentuk iklan di televisi sangat tergantung pada bentuk sasarannya, apakah merupakan dari bagian dari kongsi atau sindikat, jaringan, kabel, atau bentuk lainnya.
Menurut Rhenald Kasali (2007 : 121) Bentuk-bentuk Iklan Televisi :
1.      Pensponsoran
Pihak sponsor membiayai seluruh biaya produksi acara televisi yang penayangan dan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Akan tetapi biaya yang harus ditanggung oleh pengiklan untuk membuat suatu acara yang panjangnya sekitar 30-60 detik cukup besar. Itu sebabnya muncul sponsor yang dewasa ini melakukan kerja sama untuk menghasilkan acara.

2.      Partisipasi
Bentuk iklan televisi ini agak berbeda dengan bentuk sebelumnya, namun akan dapat mengurangi beban biaya dan resiko. Melalui iklan sepanjang 15, 30, dan 60 detik, iklan disisipkan diantara satu atau beberapa acara.

3.      Spot Announcements
Bentuk ketiga dari siaran televisi adalah yang mengacu pada pengertian bahwa announcements iklan tersebut ditempatkan pada pergantian acara. Iklan spot 10, 20, 30 atau 60 detik dijual stasiun-stasiun, baik untuk pengiklan local maupun nasianal.

4.      Public Service Announcements
Iklan layanan masyarakat ini ditempatkan ditengah-tengah suatu acara, iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau suatu LSM untuk menggalang solidaritas masyarakat luas atau suatu masalah.

2.5       Kekuatan dan Kelemahan Iklan Televisi
Menurut Rhenald Kasali (2007 : 121) Kekuatan iklan televisi adalah sebagai berikut :
1.      Efisiensi Biaya
Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemanpuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi.
2.      Dampak Yang Kuat
Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indra : penglihatan dan pendengaran.
3.      Pengaruh Yang Kuat
Akhirnya televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan.
Menurut Rhenald Kasali (2007 : 122) Kelemahan iklan televisi adalah sebagai berikut :
1.      Biaya yang Besar
Beriklan di televisi adalah biaya absolute yang sangat eksterm untuk memproduksi dan menyiarkan siaran komersial. Biaya produksi, termasuk biaya pembuatan film dan honorarium artis yang terlibat, bisa menghabiskan jutaan rupiah. Belum lagi penyiarannya yang harus diulang-ulang.
2.      Khalayak Yang Tidak Selektif
Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap sebuah media yang tidak selektif, segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah. Jadi, iklan-iklan yang disiarkan di televisi memiliki kemungkinan menjangkau pasar tidak tepat.
3.      Kesulitan Teknis
Media ini juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam penyiarannya.

Etika mengarahkan kita pada pertanyaan tentang kebajikan (virtue) dan keburukan  (vice). Serta mengarahkan pada aturan-aturan (moral) yang kita gunakan sebagai pedoman untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku kita. Isu etika utama yang berkembang dalam media komunikasi akan selalu bersinggungan dengan persoalan-persoalan keadilan (fairness), kecermatan (accuracy) dan obyektivitas (objectivity). (Jaksa dan Pritchard, 1993: 3). Ketiga nilai di atas merupakan etika media, yang erat kaitannya dengan nilai berita (news value) yang ditetapkan pada peristiwa yang dipilih untuk diberitakan dan opini yang terbentuk.
1.      Fairness (keadilan),
adalah saat reporter atau editor dapat menjaga pikiran terbuka dan menangguhkan penilaiannya, sampai tersedianya cukup informasi agar penilaian atau keputusan yang valid dapat dibuat. Media tidak hanya sebagai saluran, dan memiliki tanggung jawab untuk menilai validitas atau kebenaran dari informasi yang mereka sebarkan; namun bagi media, yang penting adalah kebutuhan untuk memberikan cukup informasi yang valid dan dapat diandalkan yang memungkinkan pembaca, pendengar, dan pemirsa dapat membuat keputusan sendiri

2.      Accuracy (kecermatan), berbicara mengenai akurasi. Hal ini tidak terlepas dari kecepatan (timelines), kecermatan dan ketepatan. Kreatifitas iklan yang tidak akurat merongrong karya iklan dan dapat menyesatkan publik. Meskipun akurasi bukan satu-satunya bahan untuk rancangan  iklan yang jujur, itu adalah tetap diperlukan.

3.      Konsep objectivity (obyektifitas) pada mulanya dipakai untuk menggambarkan atau metoda jurnalistik; wartawan akan berusaha menyampaikan berita dengan cara yang obyektif, tanpa mencerminkan bias pribadi ataupun kelompok. Dengan menggunakan metoda ilmiah yang obyektif, untuk memverifikasi informasi, wartawan dapat melaporkan berita yang tidak menggambarkan pandangan mereka sendiri. Berita itu sendiri, dengan kata lain, harus tidak memihak dan adil (Potter, 2006: 9).

Berpegang bahwa kebajikan moral adalah suatu lokasi yang layak diantara dua perbedaan. ”Moderation and balance” demikian kata kuncinya, (Merrill : 1997) . Ini berarti memberikan keseimbangan pada beragam pandangan. Misalnya dalam mengambil keputusan media harus balance dalam memberikan perhatian terhadap memperoleh berita yang baik untuk meyelamatkan perhatian publik.
Selanjutnya tentang kearifan local, Sartini memahami dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya
Sartini, mengatakan bahwa kearifan local (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terusmenerus dijadikan pegangan hidup.

            S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan local adalah nilai yang dianggap baik dan benar
sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan lokal adalah produk budaya. EB Tylor menjelaskan bahwa Budaya atau peradaban adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat. (Sobirin, 2007:52) Pemahaman budaya terus
mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Budaya tidak lagi dikaitkan dengan semata-mata dengan aspek kehidupan manusia secara umum tetapi mulai dikaitkan dengan manusia sesuai dengan kelompok-kelompoknya. Pandangan ini sejalan dengan Melville Herskovits yang mengatakan bahwa budaya adalah sebuah kerangkan pikir (construct) yang menjelaskan tentang keyakinan, perilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan, nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandang hidup (way of life) sekelompok orang. (Sobirin, 2007:53).
            Dalam membuat strategi kreatif,  sebuah merek terkadang dihadapkan pada masalah standardisasi dan lokalisasi. Duncan (2011: 683) menyatakan strategi standardisasi (juga disebut strategi global) merupakan strategi komunikasi pemasaran internasional di mana pesan dasar merek yang sama digunakan di semua negara. Sedangkan strategi lokal merupakan strategi komunikasi pemasaran internasional di mana pesan merek disesuaikan agar sesuai dengan budaya masing-masing negara serta kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat. (Leonita K. Syarief, M.Si, Muatan Lokal insight dalam Strategi Kreatif iklan Indonesia, Prociding, 2011) Strategi standarisasi dan lokal berada pada ujung berlawanan dari strategi pemasaran. Kebanyakan strategi komunikasi pemasaran internasional terjebak strategi "berpikir secara global, bertindak lokal". Yang menentukan apakah pesan tersebut akan distandardisasi atau lokal adalah kategori produk. Situasi seperti ini terkadang membuat sebagian besar perusahaan multinasional yang beroperasi dengan strategi komunikasi pemasaran internasional mengkombinasikan antara strategi global yang dieksekusi secara lokal. Pendekatan seperti ini menggabungkan keunggulan dari kedua strategi, yaitu: konsistensi pengembangan citra merek dan komunikasi yang berhasil mengakomodasi perbedaan budaya.

BAB III
METODOLOGI PENULISAN

Pada penulisan ini penulis mencari informasi yang ada dari sumber-sumber  buku-buku kepustakaan dan searching di internet sebanyak-banyaknya mengenai Iklan dalam etika dan estetika dalam etika bisnis agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab. Penelitian ini menggunakan metoda analisis kualitatif deskriptif sedangkan yang diamati adalah tayangan iklan anak di televisi. Peneliti membatasi iklan anak khususnya iklan makanan dan minuman. Analisa isi diawali dengan data untuk dibaca, ditafsirkan, dan dipahami oleh peneliti. Dalam penelitian ini, populasinya adalah tayangan iklan anak di televisi swasta nasional.


BAB IV
PEMBAHASAN

Isu etika utama yang berkembang dalam media komunikasi akan selalu bersinggungan dengan persoalan-persoalan keadilan (fairness), kecermatan (accuracy) dan obyektivitas (objectivity) (Jaksa dan Pritchard, 1993: 3).
1.      Keadilan (Fairness)
Iklan anak-anak terutama iklan makanan dan minuman untuk anak-anak di televisi adalah salah satu tayangan di media yang sering menerima kritik seperti iklan yang tidak punya etika, karena melanggar prinsip keadilan, mungkin karena tujuan utama periklanan adalah memberikan informasi yang nantinya adalah untuk membujuk agar terjadi pembelian. Dalam periklanan televisi berbagai pelanggaran etika terlihat dalam tayangan iklan Okky Jelly Drink dan Nutrisari karena memberikan informasi yang bisa menyesatkan anak. Dalam iklan ini tersurat informasi bahwa minuman nutrisari buah dalam kemasan lebih enak dan lebih baik dari pada mengkonsumsi buah asli. Tentu saja iklan ini tidak memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Persoalan etika juga sering dilakukan oleh periklanan televisi saat proses pengambilan gambar sehingga harus mengganti produk dengan bahan tiruan yang akan dilihat menarik dengan sentuhan pencahayaan dan artistic yang baik. Pada kasus tayangan iklan anak-anak pada produk makan dan minuman ini periklanan otomatis berhadapan dengan masalah etika. Beberapa penemuan para narasi dan audio iklan ini ditemukan ada pesan pesan iklan yang sangat tidak mendidik bahkan menganjurkan kepada hidup yang tidak sehat kepada anak-anak. Fakta penelitian ini, mengungkapkan, bahwa dalam tayangan iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman hanya ditemukan konsep keadilan sebesar 27,7% dari kasus iklan anak yang ada. Mengapa? Bagi praktisi periklanan untuk menciptakan sebuah iklan tentu sulit untuk bersikap fair.

2.      Kecermatan (Accuracy)
Tayangan iklan anak-anak produk makanan dan minuman ini, tidak memungkinkan bagi peneliti melakukan pemeriksaan akurasi, karena proses kreatif sudah berjalan jauh hari sebelum iklan ditayangkan di media. Dalam proses kreatif periklanan sudah ada kelaziman bahwa produk yang ada dalam iklan sudah mengalami pergantian dikarenakan jika di gunakan produk asli tidak akan terlihat menarik secara estetika. Hal ini dikarenakan produk-produk makanan dan minuman tidak lagi baik setelah dikenai proses kreatif seperti pencahayaan dan pemotretan. Akibatnya masyarakat tidak akan memahami informasi secara cukup. Sehingga rasa tertipu karena mungkin produk yang dibeli atau yang dikonsumsi berbeda dengan informasi periklanan produk tersebut. Ada beberapa tayangan-tayangan iklan ternyata bukti fisik produk dalam periklanan tersebut tidak akurat seperti apa yang ada dimedia. Berdasar teori-teori tersebut ternyata iklan anak tidak signifikan dalam menunjukkan tentang keakuratan  produk. Simak saja pada iklan milkita. Ditemukan fakta bahwa iklan anak ini menyesatkan karena member informasi bahwa makan 3 buah lolypop milkita atau 7 candy milkita setara dengan segelas susu berkalsium tinggi. Informasi ini jelas akan berdampak negative dengan pola minum susu pada anak

3.      Objektivitas (Objectivity)
Obyektivitas bukanlah wartawan yang dibayangkan untuk jadi obyektif namun metodenya yang harus obyektif. Namun saat ini bila kita mendengar kata obyektif pemahamannya ditujukan pada individunya (Kovach dan Rosentiel, 2004: 44). Karena metodenya yang harus obyektif, yang dibutuhkan masyarakat adalah lebih dari sekedar akurasi. Prinsip pertama dalam periklanan adalah menyampaikan informasi yang benar dan tidak berat sebelah. Bagaimana dengan kasus iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman dalam iklan ini. Terdapat kenyataan bahwa beberapa tayangan tidak objektif. Kasus iklan So nice, iklan ini menunjukkan keberpihakan pemilik produk pada kelompok tertentu. Dalam hal ini
penguasa, pengambil keputusan atau pemilik produk.

Tinjauan Kearifan Lokal
Mengacu pada pendapat bahwa kearifan lokal dapat diartikan sebagai kebijakan setempat. Atau nilai-nilai masyarakat yang baik dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dan sudah dipakai sebagai pedoman dari generasi ke generasi. Berkaitan dengan iklan anak-anak produk makanan dan minuman bahwa kebijakan pangan masyarakat sudah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai lokal konsumsi pangan. Pola makan nasi, umbi dan biji-bijian seperti jagung, canthel, jewawut adalah pola makan budaya lokal yang sudah dilakukan masyarakat Indonesia secara turun temurun. Budaya makan hasil dari mengolah tanah sekaligus pelajaran berharga bagi generasi muda bagaimana mereka dapat mencintai tanah kelahirannya, tanah tempat mereka berpijak. Sehingga mereka dapat menghargai alam, merawat dan melestarikannya.
Iklan anak pada produk makanan dan minuman di Indonesia mengajarkan anak-anak mengkonsumsi makanan secara instan.  Iklan anak-anak juga mengajarkan nilai baru bahwa makanan instan lebih praktis dan moderen. Pola konsumsi makanan berupa biji-bijian dan umbi-umbian digantikan dengan sereal makanan cair yang lebih bergizi dan moderen. Perubahan pola makan konvensional kepada pola makan modern sudah merubah kedaulatan pangan.
Pada sampel penelitian iklan anak di televisi tentang produk makanan dan minuman yaitu ada beberapa iklan anak keseluruhannya tidak ada indikasi produk tersebut berpihak pada kebijakan konsumsi pangan lokal. Iklan biskuit, snack keju, iklan keripik kentang, iklan susu dalam kemasan, iklan sari buah kemasan, iklan sosis, iklan the instan, iklan mie instan, iklan ice cream, iklan snack coklat, jenis-jenis makanan seperti tersebut adalah pola konsumsi makanan asing, karena tidak sesuai dengan kebiasaan makan masyarakat setempat. Iklan produk makanan dan minuman tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Kedaulatan pangan yang artinya masyarakat dengan daya upaya sendiri mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan menanam berbagai tanaman sesuai kondisi lokal. Kemampuan tersebut dapat terwujud karena mereka memiliki kearifan lokal yaitu kemampuan membudidayakan tanaman lokal yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka setiap hari secara turun temurun. Kaki-kaki kapitalisme melalui serbuan iklan anak-anak pada makanan dan minuman sudah merampas pola konsumsi makan anak dan menggantinya


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1       Kesimpulan
Praktisi periklanan dalam proses kreatifnya sering berbenturan dengan berbagai kepentingan dan tuntutan standar etika. Unsur-unsur yang terdapat pada etika media yaitu akurasi, obyektifitas, dan fairness juga tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait satu sama lain. Akurasi sebagai standar yang digunakan untuk mengukur kualitas pesan periklanan yang tertuang dalam narasi dan audio meliputi ketepatan atau kebenaran pada pesan iklan tersebut. Pentingnya akurasi tidak dapat diperdebatkan karena periklanan yang tidak akurat akan berakibat pada hilangnya kredibilitas pada produknya. Keadaan inilah yang terjadi pada tayangan iklan anak-anak produk makanan dan minuman. Pada tayangan iklan anak-anak produk makanan dan minuman ini unsur accuracy mencapai 27,7%, artinya iklan belum mampu memberi informasi yang secara signifikan akurat kepada masyarakat.
Yang menarik dalam tayangan ini adalah unsur fairness. Fairness dimaknai sebagai “ketidakberpihakan”, sementara tayangan ini penuh dengan “keberpihakan”. Selain itu tayangan iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman juga merupakan proses kreatif untuk kepentingan pihak tertentu. Pada akhirnya dalam tayangan iklan anak-anak produk makanan dan minuman periklanan belum mampu berpihak pada kepentingan masyarakat, sehingga fungsi informatif yang dibawa periklanan televisi, belum mampu menghadirkan sebuah masyarakat yang harusnya mendapatkan fungsi pendidikan dalam periklanan. Secara kearifan lokal iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman di media televisi ditemukan 100% pada sampel iklan yang dipilih tidak berpihak pada kearifan pangan lokal. Iklan justru menawarkan jenis dan cara mengkonsumsi makanan global dan mendorong anak-anak untuk mengkonsumsi makanan cepat saji.




5.2       Saran
    Pertama, dari sudut pandang etika periklanan (mengacu pada kitab Etika Pariwara Indonesia), jelas bahwa pernyataan “termurah” (suatu bentuk pernyataan superlatif) yang tidak didukung oleh fakta-fakta yang obyektif adalah tidak etis.
    Kedua, dari sudut ilmu komunikasi periklanan: iklan pada dasarnya (esensinya) adalah suatu janji. Janji antara produsen/penyedia jasa dengan para konsumennya. Hasil polling ini jelas menunjukkan bahwa isi iklan dari produk tersebut yang menjanjikan harga termurah ternyata berbahaya bagi kesehatan.
    Etika (untuk profesi atau bidang apapun juga) disusun berdasarkan tata budaya  ada disuatu bangsa. Etika mengatur hal-hal yang dianggap normatif (diterima/dibenarkan) oleh kebanyakan masyarakat di suatu negara. Dengan demikian seharusnya justru etika dipandang dengan sangat positif sebagai suatu panduan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat (konsumen).
Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan keselamatan konsumen yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan keselamatan konsumen diatas kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena kepercayaan atau loyalitas konsumen terhadap produk itu sendiri.


 
DAFTAR PUSTAKA

Kotler, Philip. 2007. Manajemen Pemasaran, Analisis Perencanaan, Pengendalian,
Prentice Hall, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Salemba Empat

Basu Swastha & Hani Handoko. 2000. Manajemen Pemasaran : Analisa Perilaku Konsumen. Yogyakarta: BPFE

Akbar, Taufik, 2013. Analisis Pengaruh Etika Iklan dan Visualisasi Iklan Terhadap Persepsi Konsumen Atas Iklan-Iklan Deterjen di Televisi“Studi Pada Konsumen Produk-Produk Deterjen di Wilayah Bulusan, Semarang” : Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang. http://eprints.undip.ac.id/39643/1/TAUFIK.pdf

Dian Marhaeni. (2012). Iklan Anak Produk Makanan dan Minuman di Televisi dan Etika Media Dalam Perspektif Kearifan Lokal





0 komentar:

Posting Komentar