Rabu, 31 Desember 2014

Jurnal Etika Bisnis = Tugas 4



PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DAN DAMPAKNYA TERHADAP
SEKTOR EKONOMI DAN BISNIS

Siti Nurhasanah
16211822
4ea17

Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma


ABSTRAK

Siti Nurhasanah. 16211822
Tugas Softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2013
Kata kunci : Moralitas, korupsi, koruptor

Didalam kehidupan sosial, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut moral. Moral menekankan manusia untuk bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral. Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan kali ini, penulis membicarakan tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang biasa disebut orang yang melakukan tindak pidana korupsi,  seperti Pencucian uang (Money Loundering) adalah proses yang mana seseorang menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau pemakaian ilegal dari pendapatan, dan kemudian menyamarkan pendapatan tersebut untuk membuatnya tampak sah. Pencucian uang telah dikenal sejak abad ke-18. Namun, perbuatan ini dikriminalisasi pada tahun 1980 dengan penerapan Undang- Undang anti-pencucian uang Pusat. (1986), yang kemudian diikuti oleh The D'annunzio Wylie Act. dan Undang-Undang Pemberantasan Pencucian Uang (1994) oleh Pemerintah Amerika Serikat. Sedangkan Pemerintah Republik Indonesia dikriminalkan tindakan ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002
Pada tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang telah memberikan efek negatif pada bidang ekonomi dan bisnis, yaitu merusak sektor bisnis swasta yang sah, merusak integritas pasar keuangan, yang mengakibatkan hilangnya control Pemerintah terhadap kebijakan ekonominya, dan awal distorsi dan ketidakstabilan ekonomi. Dan  didalam diri sendiri harus di tanamkan sebagaimana moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan mudah melakukan hal seperti itu.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
Setiap menjalankan kehidupannya, manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut moral. Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral. Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. . Koruptor yang biasa disebut orang yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan mudah melakukan hal seperti itu.
Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberi manfaat yang nyata di bidang perekonomian, khususnya di dalam mendukung kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi telah memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatif dan menarik termasuk melayani transaksi-transaksi keuangan yang melintasi batas negara. Jasa pemindahan dana melalui wire transfer yang ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa internet banking dan electronic fund transfer memungkinkan nasabah perbankan memindahkan dananya dari rekening mereka di satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian, perkembangan teknologi tersebut ibarat ”pisau bermata dua”, di satu sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap bidang perekonomian dan bisnis, di sisi lain juga meningkatkan risiko adanya penyimpangan penggunaan teknologi tersebut untuk tujuan-tujuan jahat.
Hal ini dimungkinkan mengingat semakin beragamnya aktifitas bisnis yang dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, semakin besar pula daya tarik yang ditimbulkannya bagi para pelaku kejahatan untuk memanfaatkan teknologi tersebut sebagai sarana melakukan kejahatannya yang terkait dengan aktifitas perekonomian. Beberapa dari jenis kejahatan di bidang ekonomi yang memanfaatkan kecanggihan teknologi yaitu penerbitan L/C fiktif, kejahatan menyerang keamanan sistem informasi perbankan, pembajakan kartu kredit, pembobolan rekening melalui mesin ATM, kejahatan melalui pemalsuan surat berharga (obligasi dan reksadana) dan valuta asing, dan pencucian uang (money laundering).
Dari berbagai jenis kejahatan yang disebutkan di atas, pencucian uang merupakan jenis kejahatan atau tindak pidana yang paling dominan dilakukan terutama melalui sistem keuangan. Dalam International Narcotics Control Strategic Report (INCSR) tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Yunus Husein, dijelaskan bahwa semakin majunya perekonomian dan sistem keuangan suatu negara, semakin menarik pula bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatannya. Dan aksi kejahatan yang paling umum dilakukan melalui jasa sistem keuangan di suatu negara adalah pencucian uang (money laundering).
 Pemanfaatan lembaga keuangan dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa menginvestasikan dan memindahkan uang dari hasil tindak pidana seperti uang hasil korupsi, suap, penipuan, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal dan lainnya ke dalam bentuk deposito, pembelian traveler cheque, saham, obligasi, reksadana dan instrumen keuangan lainnya.
Meningkatnya tindak pidana pencucian uang dengan memanfaatkan sistem keuangan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana hasil tindak pidana lebih jauh akan menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat terutama disektor ekonomi dan bisnis. Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang ini luar biasa, bahkan mengancam stabilitas ekonomi suatu negara. Di bidang ekonomi, pencucian uang dapat merongrong sektor swasta yang sah karena biasanya pencucian uang ini dilakukan dengan menggunakan jasa suatu perusahaan (front company) untuk mencampur uang haram dengan uang sah sehingga bisnis yang sah kalah bersaing dengan perusahaan tersebut. Dan dampak ikutan selanjutnya adalah meningkatnya kejahatan-kejahatan di bidang keuangan dan menimbulkan biaya sosial yang tinggi terutama biaya dalam meningkatkan upaya penanggulangan, pencegahan, dan penegakan hukumnya

1.2              Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengangkat bahasan tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering). Dan berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perkembangan tindak pidana pencucian uang (Money Laundering)?
2.      Bagaimana proses dan tahapan terjadinya money laundering?
3.      Apa saja modus-modus yang digunakan dalam kegiatan money laundering?
4.      Bagaimana dampaknya terhadap sektor perekonomian dan bisnis?”
5.      Bagaimana cara mencegah dan menanggulangi praktek kegiatan money laundering?

1.3              Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui perkembangan tindak pidana pencucian uang (Money Laundering)
2.      Untuk mengetahui proses dan tahapan terjadinya money laundering
3.      Untuk mengetahui modus-modus yang digunakan dalam kegiatan money laundering
4.      Untuk mengetahui dampaknya terhadap sektor perekonomian dan bisnis
5.      Untuk mengetahui cara mencegah dan menanggulangi praktek kegiatan money laundering



BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Pengertian Moralitas
Kata moral berasal dari bahasa Latin  mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat
(Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini,1995). Berns (1997) mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari - hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.

2.2       Pengertian Korupsi
            Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan - tindakan hina, fitnah atau hal - hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi ; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non - violence) dengan melibatkan unsure - unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan
penyembunyian suatu kenyataan (concealment).Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah
- istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah - hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas – tugas Negara. Kecuali itu, ada isti lah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal. Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. 

2.3       Jenis – Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan - tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1.      Kerugian keuntungan Negara
2.      Suap - menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3.      Penggelapan dalam jabatan
4.      Pemerasan
5.      Perbuatan curang
6.      Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.      Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah)
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1.      Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2.      Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.
3.      Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4.      Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5.      Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak - Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6.      Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7.      Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah - ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan menyalahgunakan wewenang.

2.4       Sebab – Akibat Korupsi
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya kegiatan pemerintah yang dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “resmi”. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara  kewajiban perorangan dan kewajiban kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik pemerintah.Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari adanya konflik loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan – pandangan feodal yang masih mewarnai pola perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas terhadap keluarga, golongan, partai atau pemerintah.Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di tingkat teknis operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh tipu - muslihat dalam setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti secara cermat, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti : munculnya pola - pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sector pembangunan menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak lagi melihat pembagian sumber daya masyarakat secara adil.

BAB III
METODOLOGI PENULISAN

Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik sejenis untuk mendukung penulisan keadilan dalam bisnis.



BAB IV
PEMBAHASAN

       1.      Perkembangan Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering)
Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan.
Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya. Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi. Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang.

     2.      Tahap- tahap Proses Kegiatan Money Loundering
Kegiatan money laundering biasanya akan melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Namun pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan secara bersama-sama, yaitu:
a)      Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.

b)      Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil Placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

c)      Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.

Ketiga kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap Placement, Layering, maupun Integration, sehingga penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan berkesinambungan. Jadi dalam Integration, begitu uang tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara Layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan terutama yang menyangkut narkotika. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat faktor yang dilakukan, yaitu:
1.            merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu.
2.            mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana.
3.            merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh petugas hukum.
4.            mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

3.   Modus-modus dalam Kegiatan Money laundering
Terdapat beberapa modus operandi dalam melakukan kegiatan money laundering, berikut adalah beberapa modus yang umum digunakan oleh para pelaku, yaitu sebagai berikut:
1)      Loan Back, yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, Modus ini terinci lagi dalam bentuk direct Loan, dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan (immobilen investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya adalah dia sendiri..
2)      Modus C-Chase Operation, metode ini cukup rumit karena memiliki sifat liku-liku sebagai cara untuk menghapus jejak. Contoh dalam kasus BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000 supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni New York ke Luxsemburg ke cabang bank Inggris, lalu disana dikonfersi dalam bentuk certifacate of deposit untuk menjamin Loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang Florida.
3)      Modus Transaksi-transaksi Dagang Internasional, modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena menjadi fokus urusan bank baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenal keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundering, berupa membuat invoice yang besar terhadap barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada.
4)      Modus Penyelundupan Uang Tunai atau Sistem Bank Paralel ke Negara lain. Modus ini menyelundupkan sejumah fisik uang itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko seperti dirampok, hilang atau tertangkap maka digunakan modus berupa electronic transfer, yakni mentransfer dari satu Negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.
5)      Modus Akuisisi, yang diakui sisi adalah perusahaanya sendiri.Contoh seorang pemilik perusahaan di indonesia yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax haven. Hasil usaha di cayman didepositokan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi).
6)      Modus Real Estate Carousel, yakni dengan menjual suatu properti berkali-kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama.
7)      Modus Investasi Tertentu, investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang atau lukisan atau antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal
8)      Modus Over Invoices atau Double Invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor negara sendiri, lalu diluar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company).
9)      Modus Perdagangan Saham, Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Busra efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku pencucian uang. Artinya dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber dari uang gelap.
10)  Modus Pizza Connection. Modus ini dilakukan dengan mnginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat konsesi pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss.
11)  Modus La Mina, kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundering terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat.
12)  Modus Deposit Taking, Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institution (DTI) Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uangnya seperti chartered bank, trust company dan credit union.
13)  Modus Identitas Palsu, yakni modus yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang dengan cara mendepositokan dengan nama palsu, menggunakan safe deposit box.

4.  Dampak tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) terhadap Sektor Ekonomi  dan Bisnis
      Pada dasarnya tindak pidana pencucian uang tidak merugikan seorang atau perusahaan tertentu secara langsung. Sepintas lalu tampaknya tindak pidana pencucian uang tidak ada korbannya. Pencucian uang tidak seperti halnya dengan perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya. Pencucian uang, menurut Billy Steel, merupakan “it seem to be a victimless crime”. Tetapi betulkah tindak pidana pencucian uang (money laundering) tidak berdampak sama sekali terhadap perekonomian atau menimbulkan kerugian di sektor bisnis? Berkenaan dengan hal ini, IMF melalui kertas kerja berjudul Money Laundering and The International Financial System yang disusun oleh Vito Tanzi pada tahun 1996 mengemukakan sebagai berikut12: “The international laundering of money has the potential to impose significant cost on the world economy by (a) harming the effective operations of the national economies and by promoting poorer economic policies, especially in some countries; (b) slowly corrupting the financial market and reducing the public’s confidence in the international financial system, thus increasing risk and the instability of that system; and (c) as a consequence (…reducing the rate of growth of the world economic)”. Dari uraian yang disampaikan dalam kertas kerja IMF ini terlihat bahwa pencucian uang (money loundering) dapat membahayakan kinrja ekonomi nasional dan sistem keuangan internasional serta lebih jauh lagi akan berdampak terhadap penurunan angka pertumbuhan ekonomi dunia. Hal senada juga dikemukakan oleh Yunus Husein. Manurut Yunus Husein, secara makro, money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapatan negara dan meningkatnya country risk, sementara secara mikro akan menimbulkan high cost economy dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat

5. Upaya-upaya dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kasus Money Laudering di  Indonesia
Pemberantasan kegiatan money laundering atau pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.
Di bawah ini adalah beberapa langkah yang telah diambil oleh Pemerintah RI guna menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang, yaitu:
1.      Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika
2.      Undang-undang yang Berkaitan dengan Narkotika
3.      UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
4.       UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar
Sebagai salah satu entri bagi masuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus mengurangi resiko dipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .

Pihak yang bertanggung jawab
Salah satu pihak yang bertanggung jawab dari kasus terjadinya praktek akan adanya korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sedangkan tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1.   Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.      Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.      Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana  korupsi.
4.      Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
5.      Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1       Kesimpulan
Pencucian uang (money laundering) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Kegiatan pencucian uang (money laundering) ini baru dikriminalisasikan setelah pertengahan tahun delapan puluhan, Tindak pidana pencucian uang ini telah menimbulkan dampak atau pengaruh yang negatif terhadap bidang perekonomian dan bisnis yaitu, merongrong sektor bisnis swasta yang sah, merongrong integritas pasar-pasar keuangan, mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya, dan timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi.

5.2       Saran
       Tanamkanlah sikap disiplin dan juga pendidikan agama yang baik sejak dini, itu merupakan modal awal manusia untuk bisa mencegah segala perbuatan korupsi yang dapat merugikan Negara. Dan juga menguatkan kekuatan hukum bagi pelaku korupsi, seperti hukuman mati. Karena hukuman penjara bagi mereka, itu merupakan hukuman yang sangat mudah dan malah menjadi banyak yang tertarik dengan melakukan tindak korupsi tersebut. Jadi, korupsi tidak akan pernah punah jika memang tidak ada kesadaran dari diri masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba melawan korupsi, cobalah dari diri kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan pencitraan, yaitu berbicara melawan korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan itu. Adapun cara yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi praktek money laundering ini ialah dengan cara adanya penindakan tegas dari pemerintah, memperkuat hukum undang-undang yang mengatur tentang money laundering, dan memaksimalkan kinerja dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).             


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000.  Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara, Raja