PERKEMBANGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DAN DAMPAKNYA TERHADAP
SEKTOR
EKONOMI DAN BISNIS
Siti
Nurhasanah
16211822
4ea17
Fakultas
Ekonomi Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Siti
Nurhasanah. 16211822
Tugas
Softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2013
Kata
kunci : Moralitas, korupsi, koruptor
Didalam kehidupan sosial, manusia
dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat. Tidak
seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang
berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut
moral. Moral menekankan manusia untuk bisa membedakan mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam
kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral.
Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. Pada penulisan kali ini, penulis
membicarakan tentang moral seorang koruptor. Koruptor yang biasa disebut orang
yang melakukan tindak pidana korupsi, seperti Pencucian uang (Money Loundering) adalah
proses yang mana seseorang menyembunyikan keberadaan, sumber ilegal, atau
pemakaian ilegal dari pendapatan, dan kemudian menyamarkan pendapatan tersebut
untuk membuatnya tampak sah. Pencucian uang telah dikenal sejak abad ke-18.
Namun, perbuatan ini dikriminalisasi pada tahun 1980 dengan penerapan Undang- Undang
anti-pencucian uang Pusat. (1986), yang kemudian diikuti oleh The D'annunzio
Wylie Act. dan Undang-Undang Pemberantasan Pencucian Uang (1994) oleh
Pemerintah Amerika Serikat. Sedangkan Pemerintah Republik Indonesia
dikriminalkan tindakan ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang- Undang
Nomor 15 Tahun 2002
Pada tindak pidana pencucian uang.
Tindak pidana pencucian uang telah memberikan efek negatif pada bidang ekonomi
dan bisnis, yaitu merusak sektor bisnis swasta yang sah, merusak integritas
pasar keuangan, yang mengakibatkan hilangnya control Pemerintah terhadap
kebijakan ekonominya, dan awal distorsi dan ketidakstabilan ekonomi. Dan didalam diri sendiri harus di tanamkan sebagaimana
moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan
mudah melakukan hal seperti itu.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Setiap menjalankan kehidupannya,
manusia dihadapkan pada norma-norma atau aturan yang berlaku dimasyarakat.
Tidak seenaknya saja melakukan perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang
berlaku dimasyarakat. Untuk itu, manusia harus mempunyai apa yang disebut
moral. Moral menekankan manusia untuk bisa mmbedakan mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang buruk. Manusia memang harus mempunyai moral dalam
kehidupan sehari-harinya, bayangkan jika seorang manusia tidak mempunyai moral.
Dia akan dianggap buruk oleh masyarakat. . Koruptor yang biasa disebut orang
yang melakukan tindak pidana korupsi, merupakan salah satu contoh bagaimana
moralitas itu sangat penting. Orang yang tidak mempunyai moral, tidak akan
mudah melakukan hal seperti itu.
Sebagaimana diketahui bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberi manfaat
yang nyata di bidang perekonomian, khususnya di dalam mendukung
kegiatan bisnis dan meningkatkan pelayanan jasa keuangan kepada
masyarakat luas. Di sektor perbankan misalnya, pemanfaatan teknologi
telah memungkinkan ditawarkannya jasa keuangan yang lebih bervariatif dan menarik termasuk melayani
transaksi-transaksi keuangan yang melintasi batas
negara. Jasa pemindahan dana melalui wire transfer yang
ditawarkan oleh bank-bank seperti jasa internet banking dan electronic fund transfer
memungkinkan nasabah perbankan memindahkan dananya dari rekening
mereka di satu bank ke bank lain di seluruh dunia dalam waktu yang
sangat singkat. Namun demikian, perkembangan teknologi tersebut ibarat
”pisau bermata
dua”, di satu sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap bidang perekonomian dan bisnis, di
sisi lain juga meningkatkan risiko adanya penyimpangan penggunaan teknologi
tersebut untuk tujuan-tujuan jahat.
Hal ini dimungkinkan mengingat semakin
beragamnya aktifitas bisnis yang dilakukan dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi, semakin besar pula daya tarik yang ditimbulkannya bagi
para pelaku kejahatan untuk memanfaatkan teknologi tersebut
sebagai sarana melakukan kejahatannya yang terkait dengan aktifitas
perekonomian. Beberapa dari jenis kejahatan di bidang ekonomi yang memanfaatkan
kecanggihan teknologi yaitu penerbitan L/C fiktif, kejahatan menyerang
keamanan sistem informasi perbankan, pembajakan kartu kredit, pembobolan
rekening melalui mesin ATM, kejahatan melalui pemalsuan surat
berharga (obligasi dan reksadana) dan valuta asing, dan pencucian uang
(money laundering).
Dari berbagai jenis kejahatan yang
disebutkan di atas, pencucian uang merupakan jenis kejahatan atau
tindak pidana yang paling dominan dilakukan terutama melalui sistem
keuangan. Dalam International Narcotics Control Strategic Report (INCSR)
tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat, sebagaimana dikutip oleh Yunus Husein, dijelaskan bahwa semakin
majunya perekonomian dan sistem keuangan suatu negara, semakin
menarik pula bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatannya.
Dan aksi kejahatan yang paling umum dilakukan melalui jasa sistem
keuangan di suatu negara adalah pencucian uang (money laundering).
Pemanfaatan lembaga keuangan dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa
menginvestasikan dan memindahkan uang dari hasil tindak pidana seperti uang
hasil korupsi, suap, penipuan, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal dan
lainnya ke dalam bentuk deposito, pembelian traveler cheque, saham,
obligasi, reksadana dan instrumen keuangan lainnya.
Meningkatnya tindak pidana pencucian
uang dengan memanfaatkan sistem keuangan untuk menyembunyikan
atau mengaburkan asal usul dana hasil tindak pidana lebih jauh akan
menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat terutama
disektor ekonomi dan bisnis. Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana
pencucian uang ini luar biasa, bahkan mengancam stabilitas ekonomi suatu
negara. Di bidang ekonomi, pencucian uang dapat merongrong sektor swasta
yang sah karena biasanya pencucian uang ini dilakukan dengan
menggunakan jasa suatu perusahaan (front company) untuk mencampur uang haram
dengan uang sah sehingga bisnis yang sah kalah bersaing dengan
perusahaan tersebut. Dan dampak ikutan selanjutnya adalah meningkatnya
kejahatan-kejahatan di bidang keuangan dan menimbulkan biaya sosial yang
tinggi terutama biaya dalam meningkatkan upaya penanggulangan,
pencegahan, dan penegakan hukumnya
1.2 Rumusan Masalah
Dalam
tulisan ini penulis mencoba mengangkat bahasan tentang tindak pidana pencucian
uang (money laundering). Dan berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
perkembangan tindak pidana pencucian uang (Money Laundering)?
2. Bagaimana proses dan tahapan
terjadinya money laundering?
3. Apa saja modus-modus yang
digunakan dalam kegiatan money laundering?
4. Bagaimana dampaknya terhadap
sektor perekonomian dan bisnis?”
5. Bagaimana cara mencegah dan
menanggulangi praktek kegiatan money laundering?
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui perkembangan tindak pidana pencucian uang (Money Laundering)
2. Untuk mengetahui proses
dan tahapan terjadinya money laundering
3. Untuk mengetahui modus-modus
yang digunakan dalam kegiatan money laundering
4. Untuk mengetahui dampaknya
terhadap sektor perekonomian dan bisnis
5. Untuk mengetahui cara
mencegah dan menanggulangi praktek kegiatan money laundering
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Moralitas
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan,
adat
(Bertens,
1993). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang (Rogers &
Baron, dalam Martini,1995). Berns (1997) mengemukakan bahwa moralitas mencakup
mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari - hari dan conscience atau aturan
personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.
2.2 Pengertian
Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin
Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah
penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan,
kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi
adanya tindakan - tindakan hina, fitnah atau hal - hal buruk lainnya. Bahasa
Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi ; Inggris :
Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya
dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi :
Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah
penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi
dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut
Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan
yang tidak mengandung kekerasan (non - violence) dengan melibatkan unsure - unsur
tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan
penyembunyian
suatu kenyataan (concealment).Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah
-
istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan
graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi
keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan
setengah memaksa atas hadiah - hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas – tugas Negara.
Kecuali itu, ada isti lah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat
yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga
harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal. Dengan demikian, korupsi
merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan
atau pelanggaran.
2.3 Jenis
– Jenis Korupsi
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak
korupsi. Namun secara ringkas tindakan - tindakan itu bisa dikelompokkan
menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap - menyuap (istilah lain :
sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain :
pemberian hadiah)
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada
tujuh jenis korupsi, yaitu :
1.
Korupsi
transaktif (transactive corruption)
Jenis
korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak
pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif
mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2.
Korupsi yang
memeras (extortive corruption)
Pemerasan
adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga
baginya.
3.
Korupsi defensif
(defensive corruption)
Orang yang
bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau
terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam
rangka mempertahankan diri).
4.
Korupsi investif
(investive corruption)
Pemberian
barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih
dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.
5.
Korupsi
perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis
korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak - Saudara atau
teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan
dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan
sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk
korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7.
Korupsi dukungan
(supportive corruption)
Korupsi
yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang
akan dilaksanakan.
Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis
ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah - ubah,
dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan
menyalahgunakan wewenang.
2.4 Sebab
– Akibat Korupsi
Di lingkungan masyarakat Asia, selain mekarnya
kegiatan pemerintah yang dikelola oleh birokrasi, terdapat pula ciri spesifik
dalam birokrasi itu sendiri yang menjadi penyebab meluasnya korupsi. Kebanyakan
model birokrasi yang terdapat di Negara-Negara Asia termasuk Indonesia adalah
birokrasi patrimonial. Adapun kelemahan yang melekat pada birokrasi seperti ini
antara lain tidak mengenal perbedaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup
“resmi”. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakmampuan membedakan antara kewajiban perorangan dan kewajiban
kemasyarakatan atau perbedaan antara sumber milik pribadi dan sumber milik
pemerintah.Selain itu, yang patut diperhatikan ialah korupsi yang bermula dari
adanya konflik loyalitas diantara para pejabat publik. Pandangan – pandangan feodal
yang masih mewarnai pola perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan efek
konflik loyalitas. Para birokrat kurang mampu mengidentifikasi kedudukannya
sendiri sehingga sulit membedakan antara loyalitas terhadap keluarga, golongan,
partai atau pemerintah.Akibat yang paling nyata dari merajalelanya korupsi di
tingkat teknis operasional adalah berkembangnya suasana yang penuh tipu - muslihat
dalam setiap urusan administrasi. Seandainya saja kita meneliti secara cermat,
banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi, seperti : munculnya pola -
pola kejahatan terorganisasi, lambannya tingkat pelayanan karena pelayanan
harus ditembus oleh uang sogok atau pengeruh personal, berbagai sector pembangunan
menjadi lumpuh karena alat kontrol untuk mengawasinya tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Kelesuan juga menyelimuti dunia swasta karena mereka tidak lagi
melihat pembagian sumber daya masyarakat secara adil.
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan
Metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data
dari beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik
sejenis untuk mendukung penulisan keadilan dalam bisnis.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering)
Tindak pidana pencucian uang (money laundering)
sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime)
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Pada saat itu, seorang perompak di
laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa
berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan
tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan
pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut
juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun
istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar
di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci
otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat
proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan,
pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang
yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana
penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan
penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan
uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan
mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang
hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat
mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan.
Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan
pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al
Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak,
tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya. Sebelum
tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an,
jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha
ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang
dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang
mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil
kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual
beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang
melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar
negara, dengan transaksi yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya transaksi money
laundering juga didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti layanan nomor
rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak
tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang
digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan
pihak yang menjadi lawan transaksi. Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga
menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana
dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang.
2. Tahap- tahap Proses Kegiatan Money Loundering
Kegiatan money laundering biasanya akan melibatkan
aktivitas yang sangat kompleks. Namun pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri
dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali
dilakukan secara bersama-sama, yaitu:
a) Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk
menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem
keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui
penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara
uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil
kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam
sistem perbankan, misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau
saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer
uang ke dalam valuta asing.
b) Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil
kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil Placement
ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain
untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering
dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan
fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c) Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta
kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke
dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang,
pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan biaya yang
harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan
asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara
aman.
Ketiga kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau
simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi
pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan
teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada
tahap Placement, Layering, maupun Integration, sehingga
penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity
building) secara sitematis dan berkesinambungan. Jadi dalam Integration,
begitu uang tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara
Layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah
menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan
operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan
uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini
memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar dalam rangka
mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam
dunia kejahatan terutama yang menyangkut narkotika. Untuk menghadapi cara-cara
yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai
transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah
yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin
menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram ini, yaitu kerahasiaan bank,
kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun
perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat faktor yang
dilakukan, yaitu:
1.
merahasiakan
siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu.
2.
mengubah
bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana.
3.
merahasiakan
proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh petugas hukum.
4.
mudah
diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.
3. Modus-modus dalam
Kegiatan Money laundering
Terdapat beberapa modus operandi dalam melakukan kegiatan
money laundering, berikut adalah beberapa modus yang umum digunakan oleh para
pelaku, yaitu sebagai berikut:
1) Loan Back, yakni dengan cara
meminjam uangnya sendiri, Modus ini terinci lagi dalam bentuk direct Loan,
dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan
bayangan (immobilen investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya
adalah dia sendiri..
2) Modus C-Chase Operation, metode ini
cukup rumit karena memiliki sifat liku-liku sebagai cara untuk menghapus jejak.
Contoh dalam kasus BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank Florida untuk
menyimpan dana sebesar US $ 10.000 supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian
beberapa kali dilakukan transfer, yakni New York ke Luxsemburg ke cabang bank
Inggris, lalu disana dikonfersi dalam bentuk certifacate of deposit untuk
menjamin Loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang Florida.
3) Modus Transaksi-transaksi Dagang
Internasional, modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena menjadi fokus
urusan bank baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu
sendiri dan tidak mengenal keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran
money laundering, berupa membuat invoice yang besar terhadap barang yang kecil
atau malahan barang itu tidak ada.
4) Modus Penyelundupan Uang Tunai atau
Sistem Bank Paralel ke Negara lain. Modus ini menyelundupkan sejumah fisik uang
itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko seperti dirampok,
hilang atau tertangkap maka digunakan modus berupa electronic transfer, yakni
mentransfer dari satu Negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.
5) Modus Akuisisi, yang diakui sisi
adalah perusahaanya sendiri.Contoh seorang pemilik perusahaan di indonesia yang
memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax haven. Hasil
usaha di cayman didepositokan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia.
Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang
ada di Indonesia (secara akuisisi).
6) Modus Real Estate Carousel, yakni
dengan menjual suatu properti berkali-kali kepada perusahaan di dalam kelompok
yang sama.
7) Modus Investasi Tertentu, investasi
tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang atau lukisan atau antik.
Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang
yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal
8) Modus Over Invoices atau Double
Invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor negara
sendiri, lalu diluar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula
perusahaan bayangan (shell company).
9) Modus Perdagangan Saham, Modus ini
pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Busra efek Amsterdam, dengan
melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek
ini menjadi pelaku pencucian uang. Artinya dana dari nasabahnya yang
diinvestasi ini bersumber dari uang gelap.
10) Modus Pizza Connection. Modus ini
dilakukan dengan mnginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan
untuk mendapat konsesi pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karibia
dan Swiss.
11) Modus La Mina, kasus yang dipandang
sebagai modus dalam money laundering terjadi di Amerika Serikat tahun 1990.
Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan
grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat.
12) Modus Deposit Taking, Mendirikan
perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institution (DTI) Canada. DTI ini
terkenal dengan sarana pencucian uangnya seperti chartered bank, trust company
dan credit union.
13) Modus Identitas Palsu, yakni modus
yang memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang dengan cara
mendepositokan dengan nama palsu, menggunakan safe deposit box.
4.
Dampak tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) terhadap Sektor
Ekonomi dan Bisnis
Pada
dasarnya tindak pidana pencucian uang tidak merugikan seorang atau perusahaan
tertentu secara langsung. Sepintas lalu tampaknya tindak pidana pencucian uang
tidak ada korbannya. Pencucian uang tidak seperti halnya dengan perampokan,
pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian
bagi korbannya. Pencucian uang, menurut Billy Steel, merupakan “it seem to be a
victimless crime”. Tetapi betulkah tindak pidana pencucian uang (money
laundering) tidak berdampak sama sekali terhadap perekonomian atau menimbulkan kerugian
di sektor bisnis? Berkenaan dengan hal ini, IMF melalui kertas kerja berjudul
Money Laundering and The International Financial System yang disusun oleh Vito
Tanzi pada tahun 1996 mengemukakan sebagai berikut12: “The international
laundering of money has the potential to impose significant cost on the world
economy by (a) harming the effective operations of the national economies and
by promoting poorer economic policies, especially in some countries; (b) slowly
corrupting the financial market and reducing the public’s confidence in the
international financial system, thus increasing risk and the instability of
that system; and (c) as a consequence (…reducing the rate of growth of the
world economic)”. Dari uraian yang disampaikan dalam kertas kerja IMF ini
terlihat bahwa pencucian uang (money loundering) dapat membahayakan kinrja
ekonomi nasional dan sistem keuangan internasional serta lebih jauh lagi akan berdampak
terhadap penurunan angka pertumbuhan ekonomi dunia. Hal senada juga dikemukakan
oleh Yunus Husein. Manurut Yunus Husein, secara makro, money laundering dapat
mempersulit pengendalian moneter, mengurangi pendapatan negara dan meningkatnya
country risk, sementara secara mikro akan menimbulkan high cost economy dan
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat
5. Upaya-upaya dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Kasus Money Laudering di Indonesia
Pemberantasan kegiatan money
laundering atau pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana
atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif.
Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang
merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against
Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988
yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan
penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan
untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan
mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan,
melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.
Di bawah ini adalah beberapa langkah
yang telah diambil oleh Pemerintah RI guna menindaklanjuti komitmen
pemberantasan kegiatan pencucian uang, yaitu:
1. Undang-undang Yang Berkaitan dengan
Psikotropika
2. Undang-undang yang Berkaitan dengan
Narkotika
3. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
4. UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar
Sebagai
salah satu entri bagi masuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa
keuangan lain harus mengurangi resiko dipergunakan sebagai sarana pencucian
uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi
dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang
mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank
atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau
lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle)
ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka
pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential
banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai
risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya
terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para
nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan
pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang
merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For
effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Pihak yang bertanggung jawab
Salah satu pihak yang bertanggung
jawab dari kasus terjadinya praktek akan adanya korupsi di Indonesia adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1. Koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi.
5. Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan Negara.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pencucian uang (money
laundering) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Namun istilah money
laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika
Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci
otomatis). Kegiatan pencucian uang (money laundering) ini baru dikriminalisasikan
setelah pertengahan tahun delapan puluhan, Tindak pidana pencucian uang ini
telah menimbulkan dampak atau pengaruh yang negatif terhadap bidang
perekonomian dan bisnis yaitu, merongrong sektor bisnis swasta yang sah,
merongrong integritas pasar-pasar keuangan, mengakibatkan hilangnya kendali
pemerintah terhadap kebijakan ekonominya, dan timbulnya distorsi dan
ketidakstabilan ekonomi.
5.2 Saran
Tanamkanlah sikap disiplin dan juga pendidikan
agama yang baik sejak dini, itu merupakan modal awal manusia untuk bisa
mencegah segala perbuatan korupsi yang dapat merugikan Negara. Dan juga
menguatkan kekuatan hukum bagi pelaku korupsi, seperti hukuman mati. Karena
hukuman penjara bagi mereka, itu merupakan hukuman yang sangat mudah dan malah
menjadi banyak yang tertarik dengan melakukan tindak korupsi tersebut. Jadi,
korupsi tidak akan pernah punah jika memang tidak ada kesadaran dari diri
masing-masing. Untuk itu, jika ingin mencoba melawan korupsi, cobalah dari diri
kita sendiri, jangan hanya bisa melakukan pencitraan, yaitu berbicara melawan
korupsi, tetap dibelakangnya dia melakukan itu. Adapun cara yang dilakukan
untuk menghilangkan atau mengurangi praktek money laundering ini ialah dengan
cara adanya penindakan tegas dari pemerintah, memperkuat hukum undang-undang
yang mengatur tentang money laundering, dan memaksimalkan kinerja dari PPATK
(Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis.
Yogyakarta: Kanisius.
Kumorotomo,
Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara, Raja
0 komentar:
Posting Komentar