IKLAN ANAK PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN DI
TELEVISI
DAN
ETIKA MEDIA DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL
Siti
Nurhasanah
16211822
4ea17
Fakultas
Ekonomi Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Siti
Nurhasanah. Iklan
dalam etika dan estetika. Fakultas Manajemen. Jurusan Ekonomi. Universitas
Gunadarma. 2014. Penulisan yang berjudul “Iklan dalam etika dan estetika “ ini
membahas tentang Iklan Anak Produk Makanan dan Minuman di
Televisi dan Etika Media dalam Perspektif Kearifan Lokal. Penelitian ini mencoba menggali iklan
produk makanan dan minuman bagi anak yang ditayangkan di televisi dilihat dari
perspektif etika media. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali
substansi dari iklan
anak dari sudut
pandang etika media.
Dengan menggunakan teori
dari Jaksa dan Pritchard, 1993,
etika yang baik
dibangun dalam komunikasi
media dengan mengembangkan keadilan, akurasi
dan objektivitas. Simpulan
penelitian ini adalah
iklan di media
televisi masih mengabaikan etika karena tidak adil, tidak
akurat dan tidak objektif.
Kata
kunci : anak, iklan, etika media,
kearifan lokal
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Wacana Iklan anak-anak di televisi terus mengalami
perkembangan dalam kajiannya. Iklan anak-anak selalu menarik. Dengan kemajuan
teknologi yang semakin sempurna iklan
anak-anak di televisi semakin atraktif, kreatif dan menghibur. Atraktif karena
iklan anak-anak selalu tampil dengan hal yang baru dan unik. Iklan anak-anak
juga semakin kreatif. Kreatif karena selalu tampil dengan iklan yang berbeda, dinamis
dan menampilkan ide-ide baru. Selain itu iklan anak-anak juga memiliki fungsi
sebagai subtansi media massa.
Sebagai
bagian dari bauran promosi,
iklan
atau dalam pemahaman yang lebih luas
periklanan
juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan
dengan bauran pemasaran atau
marketing
mix (Philip Kotler, Marketing
Communication).
Bauran pemasaran yang dimaksud
adalah Place, product, Price dan
Promotion.
Melihat posisinya demikian iklan
mau
tidak mau memiliki tujuan untuk
membujuk
kepada goalnya yaitu terjadi
transaksi
pembelian. Demikian juga proses
kreatif
iklan anak-anak. Beberapa kalangan
terutama
orang tua dan guru serta aktivis
perlindungan
anak prihatin melihat kenyataan bahwa dunia anak-anak sudah dirampas oleh
pemilik modal, pasar, melalui media dan iklan untuk kepentingan komoditi (Dian
Marhaeni, 2006). Mereka mungkin tidak sadar bahwa keluguan dan kelucuan anak-anak
sudah dimanfaatkan oleh iklan dalam hal ini industri dan media untuk kepentingan
penumpukan modal (Dian Marhaeni, 2006). Tentu saja fenomena ini cukup ironis.
Fenomena
lainnya adalah makin semaraknya tayangan iklan makanan dan minuman. Iklan
makanan dan minuman dirancang secara kreatif sehingga mampu menarik pasar
anak-anak. Riset pendahulu tentang iklan anak-anak pada produk makanan dan
minuman yang dikritisi dengan etika media oleh Dian Marhaeni K Dan Kawan kawan,
menemukan simpulan bahwa iklan anak-anak pada produk tersebut secara signifikan
belum menunjukkan adanya keadilan, keakuratan dan keberpihakan kepada publik.
Sebanyak
27,7% dari sample yang diambil secara kuota terbukti iklan makanan dan minuman
sudah memberikan informasi yang tidak sehat bagi anak-anak. Karena iklan
menginformasikan nilai-nilai baru yang itu kurang berbasis pada kearifan local budaya
pangan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan pertimbangan latar belakang diatas
maka permasalahan penelitian ini adalah “Bagaimana tayangan iklan anak-anak pada
iklan makanan dan minuman di televisi dan etika media dalam perspektif kearifan
lokal ? “.
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Mengetahui tayangan iklan anak-anak pada iklan makanan
dan minuman di televisi dan etika media dalam perspektif kearifan lokal.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Periklanan
Pengertian periklanan
menurut Philip Kotler (2007) adalah sebagai berikut :
“Segala bentuk penyajian dan promosi
ide, barang atau jasa secara nonpersonal oleh suatu sponsor tertentu yang
melakukan pembayaran”. Dengan demikian menurut Djaslim Saladin (2007 : 172)
yang mengartikan periklanan sebagai berikut : “Periklanan adalah semua bentuk
penyajian nonpersonal, promosi ide-ide, promosi barang atau jasa yang dilakukan
oleh sponsor yang dibayar”. Menurut Burke yang diterjemahkan oleh Buchari Alma
(2006 : 182) mendefinisikan iklan sebagai berikut : “Periklanan menyampaikan
pesan-pesan penjualan yang diarahkan kepada masyarakat melalui cara-cara yang
persuasive yang bertujuan menjual barang, jasa atau ide”.
Berdasarkan pendapat
para ahli tentang definisi iklan diatas maka dapat disimpulkan bahwa periklanan
merupakan suatu bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu barang atau jasa
maupun ide sponsor tertentu yang dikeluarkan hanya untuk kegiatan tersebut.
2.2 Fungsi
& Tujuan Periklanan
Menurut Basu Swastha
(2000 : 246) fungsi periklanan sebagai berikut :
1. Memberikan
Informasi
Periklanan
dapat menambah nilai pada suatu barang dengan memberikan informasi kepada
konsumen.
2. Membujuk
atau mempengaruhi
Periklanan
bersifat membujuk terutama kepada pembeli potensial dengan menyatakan bahwa
produk yang diproduksinya lebih baik dari produk lain.
3. Menciptakan
pesan (image)
Dengan
iklan orang akan mempunyai suatu kesan tertentu mengenai apa yang diiklankan
dan dengan iklan juga dapat menciptakan kesan kepada masyarakat untuk
melaksanakan pembicaraan secara rasional dan ekonomis.
4. Memuaskan
keinginan
Periklanan
merupakan suatu alat yang dapat dipakai untuk mencari tujuan dan dengan tujuan
itu sendiri berupa pertukaran yang saling memuaskan.
5. Merupakan
alat komunikasi
Periklanan
adalah suatu alat untuk membuka komunikasi dua arah antar penjual dan pembeli,
sehingga dapat bertemu dengan cara yang efektif dan efisien.
Tujuan
utama periklanan adalah meningkatkan penjualan barang dan jasa atau ide sasaran
riil dilakukan dengan mengkomunikasikan secara efektif pada sasaran-sasaran
dalam periklanan yaitu masyarakat atau pasar
2.3 Etika
Periklanan
Menurut Dewan Periklanan Indonesia (DPI),
etika adalah sekumpulan norma atau azas atau sistem perilaku yang dibuat oleh
sekelompok tertentu yang harus ditaati oleh individu atau kelompok individu
yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik-buruk atau benar-salah untuk
hal atau aktivitas atau budaya tertentu. Menurut EPI (Etika Pariwara
Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang
menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dohormati,
ditaati, dan ditegakan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangnya
2.4 Bentuk-bentuk
Iklan Televisi
Bentuk- bentuk iklan di televisi sangat tergantung pada
bentuk sasarannya, apakah merupakan dari bagian dari kongsi atau sindikat,
jaringan, kabel, atau bentuk lainnya.
Menurut Rhenald Kasali (2007 : 121) Bentuk-bentuk Iklan
Televisi :
1. Pensponsoran
Pihak sponsor membiayai seluruh
biaya produksi acara televisi yang penayangan dan pembuatannya dilakukan atas
biaya sponsor atau pengiklan. Akan tetapi biaya yang harus ditanggung oleh
pengiklan untuk membuat suatu acara yang panjangnya sekitar 30-60 detik cukup
besar. Itu sebabnya muncul sponsor yang dewasa ini melakukan kerja sama untuk
menghasilkan acara.
2. Partisipasi
Bentuk iklan televisi ini agak
berbeda dengan bentuk sebelumnya, namun akan dapat mengurangi beban biaya dan
resiko. Melalui iklan sepanjang 15, 30, dan 60 detik, iklan disisipkan diantara
satu atau beberapa acara.
3. Spot Announcements
Bentuk ketiga dari siaran televisi
adalah yang mengacu pada pengertian bahwa announcements iklan tersebut
ditempatkan pada pergantian acara. Iklan spot 10, 20, 30 atau 60 detik dijual
stasiun-stasiun, baik untuk pengiklan local maupun nasianal.
4. Public Service Announcements
Iklan layanan masyarakat ini
ditempatkan ditengah-tengah suatu acara, iklan ini biasanya dimuat atas
permintaan pemerintah atau suatu LSM untuk menggalang solidaritas masyarakat
luas atau suatu masalah.
2.5 Kekuatan
dan Kelemahan Iklan Televisi
Menurut Rhenald Kasali (2007 : 121) Kekuatan iklan televisi
adalah sebagai berikut :
1. Efisiensi Biaya
Banyak pengiklan memandang televisi
sebagai media efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu
keunggulannya adalah kemanpuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas.
Jutaan orang menonton televisi.
2. Dampak Yang Kuat
Keunggulan lainnya adalah
kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan
pada sekaligus dua indra : penglihatan dan pendengaran.
3. Pengaruh Yang Kuat
Akhirnya televisi mempunyai
kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan
masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan
dan sarana pendidikan.
Menurut Rhenald Kasali (2007 : 122)
Kelemahan iklan televisi adalah sebagai berikut :
1. Biaya yang Besar
Beriklan di televisi adalah biaya
absolute yang sangat eksterm untuk memproduksi dan menyiarkan siaran komersial.
Biaya produksi, termasuk biaya pembuatan film dan honorarium artis yang
terlibat, bisa menghabiskan jutaan rupiah. Belum lagi penyiarannya yang harus
diulang-ulang.
2. Khalayak Yang Tidak Selektif
Sekalipun berbagai teknologi telah
diperkenalkan untuk menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap
sebuah media yang tidak selektif, segmentasinya tidak setajam surat kabar atau
majalah. Jadi, iklan-iklan yang disiarkan di televisi memiliki kemungkinan
menjangkau pasar tidak tepat.
3. Kesulitan Teknis
Media ini juga tidak luwes dalam
pengaturan teknis. Iklan-iklan yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja
jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam penyiarannya.
Etika mengarahkan kita
pada pertanyaan tentang kebajikan (virtue) dan keburukan (vice). Serta mengarahkan pada aturan-aturan
(moral) yang kita gunakan sebagai pedoman untuk melakukan evaluasi terhadap
perilaku kita. Isu etika utama yang berkembang dalam media komunikasi akan selalu
bersinggungan dengan persoalan-persoalan keadilan (fairness), kecermatan (accuracy)
dan obyektivitas (objectivity). (Jaksa dan Pritchard, 1993: 3). Ketiga nilai di
atas merupakan etika media, yang erat kaitannya dengan nilai berita (news
value) yang ditetapkan pada peristiwa yang dipilih untuk diberitakan dan opini
yang terbentuk.
1. Fairness
(keadilan),
adalah
saat reporter atau editor dapat menjaga pikiran terbuka dan menangguhkan
penilaiannya, sampai tersedianya cukup informasi agar penilaian atau keputusan
yang valid dapat dibuat. Media tidak hanya sebagai saluran, dan memiliki
tanggung jawab untuk menilai validitas atau kebenaran dari informasi yang mereka
sebarkan; namun bagi media, yang penting adalah kebutuhan untuk memberikan cukup
informasi yang valid dan dapat diandalkan yang memungkinkan pembaca, pendengar,
dan pemirsa dapat membuat keputusan sendiri
2.
Accuracy
(kecermatan), berbicara mengenai akurasi. Hal ini
tidak terlepas dari kecepatan (timelines), kecermatan dan ketepatan.
Kreatifitas iklan yang tidak akurat merongrong karya iklan dan dapat menyesatkan
publik. Meskipun akurasi bukan satu-satunya bahan untuk rancangan iklan yang jujur, itu adalah tetap
diperlukan.
3.
Konsep objectivity (obyektifitas) pada mulanya
dipakai untuk menggambarkan atau metoda jurnalistik; wartawan akan berusaha menyampaikan
berita dengan cara yang obyektif, tanpa mencerminkan bias pribadi ataupun
kelompok. Dengan menggunakan metoda ilmiah yang obyektif, untuk memverifikasi
informasi, wartawan dapat melaporkan berita yang tidak menggambarkan pandangan
mereka sendiri. Berita itu sendiri, dengan kata lain, harus tidak memihak dan
adil (Potter, 2006: 9).
Berpegang bahwa
kebajikan moral adalah suatu lokasi yang layak diantara dua perbedaan.
”Moderation and balance” demikian kata kuncinya, (Merrill : 1997) . Ini berarti
memberikan keseimbangan pada beragam pandangan. Misalnya dalam mengambil
keputusan media harus balance dalam memberikan perhatian terhadap memperoleh
berita yang baik untuk meyelamatkan perhatian publik.
Selanjutnya tentang
kearifan local, Sartini memahami dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local
wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus
Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan
wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya
Sartini, mengatakan
bahwa kearifan local (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau
ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai
suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terusmenerus
dijadikan pegangan hidup.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk
Ajeg Bali” dalam Iun, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan
lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai,
etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan local
adalah nilai yang dianggap baik dan benar
sehingga dapat bertahan
dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan lokal adalah produk budaya.
EB Tylor menjelaskan bahwa Budaya atau peradaban adalah kompleksitas menyeluruh
yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan
dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh
seorang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat. (Sobirin, 2007:52)
Pemahaman budaya terus
mengalami kemajuan
seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Budaya tidak lagi dikaitkan dengan
semata-mata dengan aspek kehidupan manusia secara umum tetapi mulai dikaitkan dengan
manusia sesuai dengan kelompok-kelompoknya. Pandangan ini sejalan dengan
Melville Herskovits yang mengatakan bahwa budaya adalah sebuah kerangkan pikir
(construct) yang menjelaskan tentang keyakinan, perilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan,
nilai-nilai, tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandang hidup (way of life)
sekelompok orang. (Sobirin, 2007:53).
Dalam membuat strategi kreatif, sebuah merek terkadang dihadapkan pada masalah
standardisasi dan lokalisasi. Duncan (2011: 683) menyatakan strategi
standardisasi (juga disebut strategi global) merupakan strategi komunikasi
pemasaran internasional di mana pesan dasar merek yang sama digunakan di semua
negara. Sedangkan strategi lokal merupakan strategi komunikasi pemasaran
internasional di mana pesan merek disesuaikan agar sesuai dengan budaya
masing-masing negara serta kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat. (Leonita
K. Syarief, M.Si, Muatan Lokal insight dalam Strategi Kreatif iklan Indonesia,
Prociding, 2011) Strategi standarisasi dan lokal berada pada ujung berlawanan
dari strategi pemasaran. Kebanyakan strategi komunikasi pemasaran internasional
terjebak strategi "berpikir secara global, bertindak lokal". Yang
menentukan apakah pesan tersebut akan distandardisasi atau lokal adalah kategori
produk. Situasi seperti ini terkadang membuat sebagian besar perusahaan multinasional
yang beroperasi dengan strategi komunikasi pemasaran internasional mengkombinasikan
antara strategi global yang dieksekusi secara lokal. Pendekatan seperti ini
menggabungkan keunggulan dari kedua strategi, yaitu: konsistensi pengembangan citra
merek dan komunikasi yang berhasil mengakomodasi perbedaan budaya.
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
Pada penulisan ini penulis mencari
informasi yang ada dari sumber-sumber
buku-buku kepustakaan dan searching di internet sebanyak-banyaknya
mengenai Iklan dalam etika dan estetika dalam etika
bisnis agar rumusan dan tujuan penulisan ini
dapat terjawab. Penelitian ini menggunakan metoda analisis
kualitatif deskriptif sedangkan yang diamati adalah tayangan iklan anak di televisi.
Peneliti membatasi iklan anak khususnya iklan makanan dan minuman. Analisa isi
diawali dengan data untuk dibaca, ditafsirkan, dan dipahami oleh peneliti. Dalam
penelitian ini, populasinya adalah tayangan iklan anak di televisi swasta nasional.
BAB IV
PEMBAHASAN
Isu
etika utama yang berkembang dalam media komunikasi akan selalu bersinggungan
dengan persoalan-persoalan keadilan (fairness), kecermatan (accuracy) dan
obyektivitas (objectivity) (Jaksa dan Pritchard, 1993: 3).
1. Keadilan
(Fairness)
Iklan
anak-anak terutama iklan makanan dan minuman untuk anak-anak di televisi adalah
salah satu tayangan di media yang sering menerima kritik seperti iklan yang
tidak punya etika, karena melanggar prinsip keadilan, mungkin karena tujuan
utama periklanan adalah memberikan informasi yang nantinya adalah untuk
membujuk agar terjadi pembelian. Dalam periklanan televisi berbagai pelanggaran
etika terlihat dalam tayangan iklan Okky Jelly Drink dan Nutrisari karena
memberikan informasi yang bisa menyesatkan anak. Dalam iklan ini tersurat
informasi bahwa minuman nutrisari buah dalam kemasan lebih enak dan lebih baik
dari pada mengkonsumsi buah asli. Tentu saja iklan ini tidak memberikan
pendidikan yang baik bagi anak-anak. Persoalan etika juga sering dilakukan oleh
periklanan televisi saat proses pengambilan gambar sehingga harus mengganti
produk dengan bahan tiruan yang akan dilihat menarik dengan sentuhan
pencahayaan dan artistic yang baik. Pada kasus tayangan iklan anak-anak pada
produk makan dan minuman ini periklanan otomatis berhadapan dengan masalah
etika. Beberapa penemuan para narasi dan audio iklan ini ditemukan ada pesan pesan
iklan yang sangat tidak mendidik bahkan menganjurkan kepada hidup yang tidak
sehat kepada anak-anak. Fakta penelitian ini, mengungkapkan, bahwa dalam
tayangan iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman hanya ditemukan konsep
keadilan sebesar 27,7% dari kasus iklan anak yang ada. Mengapa? Bagi praktisi periklanan
untuk menciptakan sebuah iklan tentu sulit untuk bersikap fair.
2. Kecermatan (Accuracy)
Tayangan iklan
anak-anak produk makanan dan minuman ini, tidak memungkinkan bagi peneliti
melakukan pemeriksaan akurasi, karena proses kreatif sudah berjalan jauh hari
sebelum iklan ditayangkan di media. Dalam proses kreatif periklanan sudah ada kelaziman
bahwa produk yang ada dalam iklan sudah mengalami pergantian dikarenakan jika di
gunakan produk asli tidak akan terlihat menarik secara estetika. Hal ini
dikarenakan produk-produk makanan dan minuman tidak lagi baik setelah dikenai
proses kreatif seperti pencahayaan dan pemotretan. Akibatnya masyarakat tidak
akan memahami informasi secara cukup. Sehingga rasa tertipu karena mungkin produk
yang dibeli atau yang dikonsumsi berbeda dengan informasi periklanan produk
tersebut. Ada beberapa tayangan-tayangan iklan ternyata bukti fisik produk dalam
periklanan tersebut tidak akurat seperti apa yang ada dimedia. Berdasar teori-teori
tersebut ternyata iklan anak tidak signifikan dalam menunjukkan tentang
keakuratan produk. Simak saja pada iklan
milkita. Ditemukan fakta bahwa iklan anak ini menyesatkan karena member
informasi bahwa makan 3 buah lolypop milkita atau 7 candy milkita setara dengan
segelas susu berkalsium tinggi. Informasi ini jelas akan berdampak negative
dengan pola minum susu pada anak
3.
Objektivitas (Objectivity)
Obyektivitas bukanlah
wartawan yang dibayangkan untuk jadi obyektif namun metodenya yang harus
obyektif. Namun saat ini bila kita mendengar kata obyektif pemahamannya
ditujukan pada individunya (Kovach dan Rosentiel, 2004: 44). Karena metodenya
yang harus obyektif, yang dibutuhkan masyarakat adalah lebih dari sekedar
akurasi. Prinsip pertama dalam periklanan adalah menyampaikan informasi yang
benar dan tidak berat sebelah. Bagaimana dengan kasus iklan anak-anak pada produk
makanan dan minuman dalam iklan ini. Terdapat kenyataan bahwa beberapa tayangan
tidak objektif. Kasus iklan So nice, iklan ini menunjukkan keberpihakan pemilik
produk pada kelompok tertentu. Dalam hal ini
penguasa, pengambil
keputusan atau pemilik produk.
Tinjauan Kearifan Lokal
Mengacu pada pendapat bahwa kearifan lokal dapat
diartikan sebagai kebijakan setempat. Atau nilai-nilai masyarakat yang baik dan
dijunjung tinggi oleh masyarakat dan sudah dipakai sebagai pedoman dari
generasi ke generasi. Berkaitan dengan iklan anak-anak produk makanan dan minuman
bahwa kebijakan pangan masyarakat sudah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai lokal
konsumsi pangan. Pola makan nasi, umbi dan biji-bijian seperti jagung, canthel,
jewawut adalah pola makan budaya lokal yang sudah dilakukan masyarakat
Indonesia secara turun temurun. Budaya makan hasil dari mengolah tanah sekaligus
pelajaran berharga bagi generasi muda bagaimana mereka dapat mencintai tanah
kelahirannya, tanah tempat mereka berpijak. Sehingga mereka dapat menghargai alam,
merawat dan melestarikannya.
Iklan anak pada produk makanan dan minuman di
Indonesia mengajarkan anak-anak mengkonsumsi makanan secara instan. Iklan anak-anak juga mengajarkan nilai baru bahwa
makanan instan lebih praktis dan moderen. Pola konsumsi makanan berupa biji-bijian
dan umbi-umbian digantikan dengan sereal makanan cair yang lebih bergizi dan
moderen. Perubahan pola makan konvensional kepada pola makan modern sudah
merubah kedaulatan pangan.
Pada sampel penelitian iklan anak di televisi
tentang produk makanan dan minuman yaitu ada beberapa iklan anak keseluruhannya
tidak ada indikasi produk tersebut berpihak pada kebijakan konsumsi pangan
lokal. Iklan biskuit, snack keju, iklan keripik kentang, iklan susu dalam
kemasan, iklan sari buah kemasan, iklan sosis, iklan the instan, iklan mie
instan, iklan ice cream, iklan snack coklat, jenis-jenis makanan seperti
tersebut adalah pola konsumsi makanan asing, karena tidak sesuai dengan kebiasaan
makan masyarakat setempat. Iklan produk makanan dan minuman tidak sejalan
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah RI No. 68
Tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Kedaulatan pangan yang artinya masyarakat
dengan daya upaya sendiri mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan
menanam berbagai tanaman sesuai kondisi lokal. Kemampuan tersebut dapat
terwujud karena mereka memiliki kearifan lokal yaitu kemampuan membudidayakan tanaman
lokal yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka setiap hari secara turun
temurun. Kaki-kaki kapitalisme melalui serbuan iklan anak-anak pada makanan dan
minuman sudah merampas pola konsumsi makan anak dan menggantinya
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Praktisi periklanan
dalam proses kreatifnya sering berbenturan dengan berbagai kepentingan dan
tuntutan standar etika. Unsur-unsur yang terdapat pada etika media yaitu
akurasi, obyektifitas, dan fairness juga tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait
satu sama lain. Akurasi sebagai standar yang digunakan untuk mengukur kualitas
pesan periklanan yang tertuang dalam narasi dan audio meliputi ketepatan atau
kebenaran pada pesan iklan tersebut. Pentingnya akurasi tidak dapat
diperdebatkan karena periklanan yang tidak akurat akan berakibat pada hilangnya
kredibilitas pada produknya. Keadaan inilah yang terjadi pada tayangan iklan
anak-anak produk makanan dan minuman. Pada tayangan iklan anak-anak produk
makanan dan minuman ini unsur accuracy mencapai 27,7%, artinya iklan belum
mampu memberi informasi yang secara signifikan akurat kepada masyarakat.
Yang menarik dalam
tayangan ini adalah unsur fairness. Fairness dimaknai sebagai
“ketidakberpihakan”, sementara tayangan ini penuh dengan “keberpihakan”. Selain
itu tayangan iklan anak-anak pada produk makanan dan minuman juga merupakan proses
kreatif untuk kepentingan pihak tertentu. Pada akhirnya dalam tayangan iklan
anak-anak produk makanan dan minuman periklanan belum mampu berpihak pada
kepentingan masyarakat, sehingga fungsi informatif yang dibawa periklanan televisi,
belum mampu menghadirkan sebuah masyarakat yang harusnya mendapatkan fungsi
pendidikan dalam periklanan. Secara kearifan lokal iklan anak-anak pada produk
makanan dan minuman di media televisi ditemukan 100% pada sampel iklan yang
dipilih tidak berpihak pada kearifan pangan lokal. Iklan justru menawarkan
jenis dan cara mengkonsumsi makanan global dan mendorong anak-anak untuk
mengkonsumsi makanan cepat saji.
5.2 Saran
Pertama, dari
sudut pandang etika periklanan (mengacu pada kitab Etika Pariwara Indonesia),
jelas bahwa pernyataan “termurah” (suatu bentuk pernyataan superlatif) yang
tidak didukung oleh fakta-fakta yang obyektif adalah tidak etis.
Kedua, dari sudut
ilmu komunikasi periklanan: iklan pada dasarnya (esensinya) adalah suatu janji.
Janji antara produsen/penyedia jasa dengan para konsumennya. Hasil polling ini
jelas menunjukkan bahwa isi iklan dari produk tersebut yang menjanjikan harga
termurah ternyata berbahaya bagi kesehatan.
Etika (untuk
profesi atau bidang apapun juga) disusun berdasarkan tata budaya ada disuatu bangsa. Etika mengatur hal-hal
yang dianggap normatif (diterima/dibenarkan) oleh kebanyakan masyarakat di
suatu negara. Dengan demikian seharusnya justru etika dipandang dengan sangat
positif sebagai suatu panduan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak akan
diterima dengan baik oleh masyarakat (konsumen).
Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada
dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja
pada jalurnya. Disini perusahaan seharusnya lebih mementingkan keselamatan
konsumen yang menggunakan produknya karena dengan meletakkan keselamatan
konsumen diatas kepentingan perusahaan maka perusahaan itu sendiri akan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena kepercayaan atau loyalitas
konsumen terhadap produk itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Kotler,
Philip. 2007. Manajemen Pemasaran, Analisis Perencanaan, Pengendalian,
Prentice
Hall, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: Salemba Empat
Basu
Swastha & Hani Handoko. 2000. Manajemen Pemasaran : Analisa Perilaku
Konsumen. Yogyakarta: BPFE
Akbar,
Taufik, 2013. Analisis Pengaruh Etika Iklan dan Visualisasi Iklan Terhadap
Persepsi Konsumen Atas Iklan-Iklan Deterjen di Televisi“Studi Pada Konsumen
Produk-Produk Deterjen di Wilayah Bulusan, Semarang” : Skripsi Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang. http://eprints.undip.ac.id/39643/1/TAUFIK.pdf
Dian
Marhaeni. (2012). Iklan Anak Produk Makanan dan Minuman di Televisi dan Etika
Media Dalam Perspektif Kearifan Lokal
0 komentar:
Posting Komentar